Seberapa Beratkah Perjuangan Kita?

Tags

Musim hujan telah tiba. Beberapa daerah di Indonesia bahkan mengalami banjir, tanah longsor dan peristiwa alam lainnya yang mengakibatkan kerugian harta benda bahkan sampai kehilangan nyawa. Saya sendiri punya kenangan yang kurang menyenangkan saat musim hujan beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika saya berkunjung ke Curug Daun di Bogor (cerita lengkapnya bisa baca di sini).

Ngeri T T (Pic Kumparan)


Ide tulisan kali ini terjadi ketika saya melewati jalan berlumpur  saat perjalanan kembali ke Gresik. Jalan yang dapat menyebabkan kendaraan yang melaju di atasnya tergelincir jika tidak berhati-hati. Tidak hanya kendaraan, ketika ada anak sekolah yang melewati jalan seperti ini, mereka juga harus ekstra hati-hati. Meski pun tidak di jalan yang sama seperti yang saya lalui, namun sekolah-sekolah yang ada di desa biasanya memiliki akses jalan yang berlumpur saat hujan. Anak-anak sekolah, demi menyelamatkan sepatu mereka, akan memilih untuk berjalan kaki tanpa alas, dan menenteng sepatu mereka. Untuk kemudian memakai sepatu tersebut saat sudah sampai di sekolah.


Berbicara tentang sekolah, saat kecil (atau pun saat ini), seberapa berat perjuangan yang sudah kita lakukan untuk bisa mencapai sekolah yang kita tuju? Pernahkah kita menggunakan flying fox  atau harus mendaki tebing yang terjal terlebih dahulu untuk mencapai sekolah yang kita tuju?


Beberapa cerita berikut semoga menjadikan kita lebih banyak bersyukur dengan episode kehidupan yang kita alami.


Cerita berikut saya ambil dari film dokumenter di youtube.


Dokumenter pertama menceritakan tentang perjuangan dua orang anak yang harus menempuh perjalanan sejauh 100Km dengan suhu -30C untuk sampai di sekolah mereka. Kisah ini terjadi saat musim winter. Dua orang anak sekolah dasar yang berasal dari Himalaya melakukan perjalanan yang ditempuh selama empat hari bersama dengan tiga orang dewasa yang menemani mereka. Perjalanan berat itu mereka tempuh dengan berjalan kaki. Sesuai dengan medan yang mereka tempuh, mereka memakai sepatu boot dari karet yang akan membuat kaki mereka aman saat berjalan. 

Alangkah dinginnya (Pic Anehdidunia)


Seorang pemandu akan memastikan bahwa jalan yang mereka lalui aman, lapisan es tidak tipis, sehingga mereka tidak terperosok ke dalam air danau yang super dingin. Selain lapisan es, mereka juga menghadapi terjalnya pegunungan karena tidak memungkinkan untuk menyeberangi danau. Namun, jika tidak ada jalan lain yang dapat dilewati, maka mereka memutuskan untuk melewati aliran air yang sangat dingin. Kemudian mereka akan meneruskan perjalanan hingga bertemu dengan kendaraan yang akan membawa mereka ke sekolah yang mereka tuju. Di sekolah ini, para siswa akan tinggal selama 9 bulan (asrama), jadi tidak pulang pergi setiap saat.


Dokumenter kedua berlatar di Nepal. Untuk mencapai sekolah, sebagian siswa harus menyeberangi sungai dengan menggunakan alat yang pengoperasiannya mirip dengan flying fox. Flying fox menjadi satu-satunya sistem transportasi yang bisa mereka gunakan untuk menyeberangi sungai selebar 60m itu. Jika dalam satu kali perjalanan terdapat anak yang usianya lebih tua, mereka harus naik di atas tali sedangkan yang lainnya duduk di dalam keranjang (bentuk alat tersebut seperti keranjang). Jika di tengah perjalanan macet, maka anak yang lebih dewasa akan mendorong alat tersebut.

Ada yang mau mencoba (Pic Freedocumentaries)


Tidak hanya untuk aktivitas sekolah, masyarakat desa setempat juga menggunakan transportasi ini untuk melakukan jual beli hasil panen dan kebutuhan sehari-hari mereka. Jika saat musim hujan tiba, debit air sungai bertambah besar, yang mengindikasikan bahwa ancaman bagi para siswa, ketika tiba-tiba ada yang terjatuh ke sungai, mereka akan sulit untuk menyelamatkan diri.


Dokumenter ketiga terjadi di Ethiopia.Saat berangkat sekolah, para siswa akan berjalan melewati gurun pasir. Tantangan yang mereka hadapi seperti panas matahari yang mencapai 40C, badai pasir dan kurangnya suplai air di wilayah tersebut. Pendidikan di lokasi yang masuk dalam film dokumenter juga tidak merata. Banyak orang tua tidak menyekolahkan anak mereka. Bahkan dalam satu keluarga, jika terdapat lebih dari satu anak, maka anak laki-laki menjadi prioritas utama untuk sekolah. Meski pun, ada juga keluarga lain yang menyekolahkan anak mereka.


Film dokumenter yang terakhir memperlihatkan seorang anak laki-laki yang berasal dari China harus menempuh perjalanan sejauh 3 mil (atau setara dengan 4.8 km) melewati jalanan bersalju. Dalam keterbatasan pakaian yang Ia miliki mengakibatkan rambutnya tertutup oleh salju, sehingga Ia dikenal dunia sebagai 'snowflake boy atau ice boy' . Karena sebegitu dinginnya, rambut sang anak sampai membeku.

Bahkan rambut anak ini ikut membeku (pict straitstimes.com)


Tidak hanya kisah perjuangan di luar negeri, di dalam negeri pun banyak kisah haru bagaimana para pejuang sampai di sekolah mereka. Beberapa tayangan telah viral seperti beberapa siswa yang menyeberangi sungai dengan melewati jembatan yang telah rubuh, yang kondisi jembatan tersebut sangat mengerikan. Beberapa lainnya menggunakan kano/perahu untuk sampai di sekolah mereka. Ini hanya dua cerita  diantara kisah perjuangan yang lainnya yang mungkin lebih berat.


Melihat film dokumenter dan kisah perjuangan para siswa di atas , membuat saya sadar bahwa banyak hal yang belum saya syukuri. Perjalanan saya saat SMP yang saya tempuh dengan berjalan kaki sejauh 5km itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kisah di atas. Jika saya dulu tantangannya cuma satu, yaitu harus berani untuk berjalanan sendirian melewati ladang-ladang para petani, yang memang jauh dari jalan yang ramai dilalui oleh warga atau pun kendaraan. Sedangkan, kisah mereka di atas taruhannya hanya satu, yaitu nyawa mereka. Ketika mereka terjatuh dari perjalanan terjal yang mereka lalui, terjatuh dari flying fox, atau bahkan sakit ketika tidak kuat dengan badai salju atau after effect lainnya yang akibatnya fatal.


Namun, apa pun kisah perjuangan yang sudah atau sedang kita lalui. Semoga masih ada rasa syukur yang terucap atas apa yang  sedang  kita lakukan. Karena, bisa saja di luar sana masih banyak orang yang kisah perjuangannya lebih berat dibandingkan kita saat ini. Pun bagi kita yang kisah perjuanganya tidak seberat cerita di atas, semoga banyak kebaikan yang bisa kita lakukan untuk sesama. Karena kita tidak pernah bisa memilih di mana dan bagaimana kita dilahirkan, tugas kita hanya menjalankan peran kita sebaik mungkin.


Untuk kita yang saat ini sedang berjuang untuk menggapai apa yang kita cita-citakan, semangaat. Semoga dikuatkan untuk proses yang dijalani saat ini. InsyaAllah hasil akhir kebaikan menanti di ujung perjuangan.

Kalau kamu punya kisah perjuangan yang menarik saat sekolah, boleh juga share ceritanya di kolom komentar ya.


Terima kasih atas komentar dan masukkannya :)
EmoticonEmoticon