Pilihan

Tags

 “Bu, maaf, apakah saya bisa mengambil gajian saya lebih awal?” gugup, jantungku berdetak tak karuan.
“Mau buat apa?. Kamu di sini baru kerja dua bulan lho” Ibu bos tempatku bekerja masih tak mengalihkan pandangan dari struk pembelian barang yang sedang Ia hitung jumlahnya dengan kalkulator.
“I..itu bu, ibu saya masuk rumah sakit. Jadi saya butuh uang untuk saya kirimkan” Sepi tidak ada jawaban. Dua bulan sudah aku bekerja di toko bahan bangunan ini. Seorang tetangga mengenalkanku dengan pemilik toko yang sedang membutuhkan karyawan. Jarak dari rumahku cukup jauh, sekitar enam jam dengan menggunakan bus.
“Gajimu tidak bisa aku berikan semua. Hanya setengahnya saja. Bagaimana?” Aku masih terdiam berfikir  jika menggunakan semua gaji saja masih belum bisa menutupi semua biaya rumah sakit apalagi hanya setengah saja. Tabunganku juga hanya ada dua ratus ribu. Itu pun untuk biaya makanku bulan ini.
“Mau nggak? Aku ngga mau ambil resiko ya. Jangan sampai setelah aku berikan gaji full, kamu malah kabur ngga lanjut kerja lagi. Seperti dua anak yang kabur kemarin” kesal, aku ingin berteriak demi mendengar jawaban darinya. Benar, aku ingin berhenti kerja, tapi tidak dengan melarikan diri.
“Baik bu. Setengah dari gaji saja.” Otakku berputar, harus pinjam uang dari siapa untuk melunasi biaya opname ibu. Karena penyakit lambungnya, tiga hari sudah Ibuku di rumah sakit. Satu-satunya harta yang kami miliki di rumah hanya sebidang sawah dan induk kambing, yang anaknya ibu jual sebagai bekalku bekerja. Tak mungkin juga kami menjual sawah satu-satunya yang kami miliki. Pilihannya hanya menjual induk kambing yang tersisa.
    Langit temaram mulai datang menghalau kilau cahaya matahari. Bunyi klakson kendaran di lampu merah saling bersahutan, seakan-akan ingin menerobos saling mendahului. Aku duduk di sebuah kursi di samping jalan menikmati lalu-lalang kendaraan.
    Kota ini seakan tidak pernah tidur. Hilir mudik kendaraan tak pernah sepi. Tak heran mengapa  kota ini dijuluki sebagai kota Industri yang upah tenaga kerjanya saja setara dengan UMR Ibu kota. Jangan tanya mengenai gajiku. Hanya lulusan SMP dan tak memiliki pengalaman kerja sama sekali, membuatku tidak bisa menawar besaran gaji yang diberikan. Diterima kerja saja sudah untung bagiku.
    Bekerja di toko ini sebenarnya membuatku tidak nyaman. Lalu lalang sopir yang membeli bahan bangunan yang terkadang menggoda membuatku risih. Bahkan secara terang-terangan mereka meminta nomor handphone ku ke ibu bos sebab tak pernah aku gubris ketika mereka meminta nomorku secara langsung.
**
    Minggu dini hari. Mataku masih tak jua mau terpenjam. Sepi, hanya detik jarum jam yang terdengar jelas.  “Duh Gusti, bagaimana ini. Aku harus cari pekerjaan yang lain.” Aku sungguh ingin ke luar dari pekerjaan ini. Dua minggu lagi, lima bulan sudah aku bekerja di toko ini. Aku sudah berusaha untuk bertahan, namun aku sudah tidak kuat lagi.
“Halo mba, boleh kenalan” seorang laki-laki yang sedang menaiki motor tiba-tiba ada disamping trotoar tempatku jalan.
“Maaf siapa ya?”
“Mba ngga ingat saya ya. Itu lho yang kemarin kita bertemu di toko bangunan.” Ia menyeringai, membuat bulu kudukku berdiri.
“Maaf saya tidak ingat.”
“Boleh minta nomor hpnya mba?. Mba orang mana?” Aku bergeming tidak menjawab.
“Jangan jual mahal mba. Nanti ngga laku lho.” Tiba-tiba Ia menarik tanganku. Mencegahku untuk berjalan lebih cepat lagi. Jantungku berdetak kencang. Tanganku mengepal ketakutan. Warning tanda bahaya sudah menyala.
“Ayo mba saya antarkan pulang pakai motor. Capek nanti kalau jalan kaki.” Ia masih memaksaku. Kini Ia menarikku ke arah motor bagian belakang agar aku mau duduk di sana.
“Maaf mas, saya sudah pesan ojek.” Aku yang tidak sedang memesan ojek, tiba-tiba melambaikan tangan pada abang ojek yang kebetulan lewat. Mungkin karena Ia iba melihat tampangku yang ingin menangis, Ia akhirnya berhenti. Tanpa ba bi bu aku minta abang ojek untuk tancap gas. Motor pun melaju meninggalkan supir yang mencoba menggodaku tadi.
“Mba maaf kalau tidak pakai aplikasi saya tidak bisa mengantarkan.” Aku yang masih gemetaran tersadar.
“Maaf bang, saya turun di depan saja ya. Saya bayar sesuai tarif di aplikasi.” Suaraku masih bergetar. Tidak ada jawaban dari abang ojek. Kendaraan pun masih melaju

Hidup adalah sebuah pilihan (Pict Jolijolidesign)


“Turun di sini bang. Berapa ongkosnya?”
“Ngga usah mba. Saya baru sadar dengan apa yang mba alami tadi. Lain kali hati-hati ya mba. Mba bisa berteriak minta tolong ke orang-orang yang ada di sekitar jika ada hal yang membahayakan. Atau bisa juga seperti yang mba lakukan tadi.”
    Jalanan yang aku lalui saat pulang memang sepi, jarang sekali ada kendaraan yang lewat. Beruntung hari ini ada abang ojek yang kembali dari mengantarkan penumpang.
“Mungkin mba bisa pindah kos saja. Kalau-kalau orang tadi masih mengikuti mba besoknya.”  Ia kemudian pergi tanpa mau aku bayar.
    Segera aku berlari memasuki kos. Takut jika sang sopir masih mengikutiku. Kejadian beberapa minggu yang lalu itu membuatku yakin untuk segera mengundurkan diri. Meskipun aku tahu ibu bos akan marah besar karena aku mengundurkan diri secara tiba-tiba, namun setidaknya aku sudah menginfokan lebih awal.
**
    Matahari kian menyengat, udara pun tak mengirimkan angin segarnya. Dua hari sudah aku mencari pekerjaan, namun tak jua kunjung aku dapatkan. Tiga hari lalu aku memutuskan untuk berhenti kerja. Seperti yang sudah aku kira, ibu bos masih tidak mengizinkanku, meskipun sudah aku infokan sejak lama namun tetap saja responnya sama.
“Itu hanya masalah kecil La. Kamu sudah besar pasti bisa jaga diri. Masa karena digoda seperti itu saja kamu mau berhenti kerja.”
“Maaf bu.” Aku hanya meminta maaf. Sekedar formalitas yang harus aku lakukan. Aku yakin jika anak ibu bos yang mengalami hal yang sama, pasti Ia sudah melaporkan pelaku ke polisi.
“Kamu itu sekolahnya ngga tinggi. Mana ada yang mau menerimamu bekerja. Paling-paling nanti juga jadi babu. Sudah untung kamu aku terima bekerja di sini. Namanya bekerja pasti ada resiko.” Ibu bos masih mencoba menahanku dengan kata-kata menyakitkan yang Ia lontarkan.
“Kerja di sini gajinya lebih besar daripada tempat lain. Kamu juga bisa mengirim uang ke desa. Kurang apa lagi? kejadian kemarin kan masih aman, kamu juga tidak kenapa-napa.”
“Maaf bu. Kalau misalnya anak ibu yang ada di posisi saya. Apa ibu juga akan berfikiran sama?” Diam tidak ada balasan.
“Ya sudah kamu bisa berhenti”
“Terima kasih bu sudah mau menerima saya bekerja di sini sebelumnya. Saya pamit. Semoga usaha toko ibu semakin lancar.”
“Kalau anakku pasti ngga akan kerja rendahan seperti ini. Dia pasti berkerja di tempat yang bagus dan aman. Dasar ngga tau berterima kasih” pelan, namun suara ibu bos sudah cukup jelas di telingaku. Inginku berlari dan menghampirinya, namun sudahlah. Lupakan saja. Toh bisa ke luar dari tempat kerja ini sangat aku syukuri.
    Namun, ternyata tidak semudah itu mendapatkan perkerjaan. Dua hari ini sudah lima tempat aku datangi, namun tidak ada yang menghubungi nomor hp ku setelah aku menitipkan lamaran pekerjaan di tempat itu.
“Mba, es jeruknya satu ya” udara sangat terik, membuatku ingin menikmati minuman dingin. Sebuah warung makan menjadi tujuanku. Warung ini terlihat ramai dengan pembeli. Bahkan ada banyak pelayan wanita yang seumuran denganku.
“Ini mba”  kuperhatikan sekeliling. Untuk warung yang berukuran tidak terlalu besar seperti ini saja, pemilik mempekerjakan lima orang. Pasti warung ini sangat ramai pembeli.
“Mba, warungnya ramai sekali ya” tanyaku penasaran.
“Wah kalau malam biasanya tambah ramai mba” aku hanya mengangguk.
“Mba sudah lama kerja di sini?”
“Baru sebulan mba. Kenapa, mba tertarik kerja di sini?” aku diam, berfikir, mungkin aku bisa berkerja di sini juga.
“Gajinya berapa mba?”
“Satu juta” mataku mengernyit. Itu nominal yang besar tidak jauh berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya.
“Sebenarnya gaji dari warung kecil. Tapi ada bonusnya kalau mau melakukan hal lain” Jawabnya dengan tersenyum.
“Apa mba?” Ia kemudian berbisik, “kita haru mau memangku pelanggan.”
Aku terdiam tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh si pelayan.
“Kalau ada pelanggan yang mau karaoke, mereka akan memberikan kita bonus, asalkan kita mau duduk dipangkuan mereka.” Ia menjelaskan dengan suara lirih.
“Bonusnya terserah mereka. Kita juga bisa memasang tarif kalau kita sudah bekerja di sini selama satu tahun. Jadi, gaji satu juta itu hanya untuk anak baru. Untuk pelayan yang lama, mereka bahkan dapat dua juta lebih”
Otakku berputar. Mencerna segala informasi yang diberikan si pelayan.
 “Kalau gajinya besar, kenapa tidak ada info lowongan kerja di depan warung?”
Si pelayan terkekeh, “Kalau kami memasang info lowongan kerja, yang ada kami langsung di tangkap polisi mba”
Aku edarkan pandanganku kembali ke dalam warung.
“Itu, tidak ada orang yang pangku-pangkuan mba?”
“Ya ngga kelihatan kalau dari luar. Tempat karaoke plus plusnya ada di dalam.”
    Tik...tok..tik..aku mulai tersadar dengan apa yang terjadi. Aku pun langsung menghabiskan es jeruk yang tinggal setengah, kemudian pamit pergi setelah membayar minuman yang aku pesan.
“Sama saja jatuh ke dalam jurang yang sama kalau aku kerja di sini. Bahkan di sini lebih menakutkan dari tempat sebelumnya.” Kataku di dalam hati.
    Tepat hari kesepuluh barulah aku mendapatkan perkerjaan di sebuah konveksi kecil. Gaji yang ditawarkan lebih kecil jika dibandingkan dengan tempat sebelumnya, karena tugas ku bukan sebagai penjahit melainkan membantu membuang benang yang masih menempel pada baju yang dijahit.
    Yang membuatku nyaman bekerja di tempat ini adalah pekerja di tempat ini semuanya perempuan serta sang pemilik menawaran tempat tinggal untuk karyawan yang rumahnya jauh. Sehingga hal ini bisa mengurangi biaya hidup untuk tempat tinggal dan untuk biaya makan, aku bisa memasak di tempat ini. Siang harinya, pemilik juga menyediakan makan siang gratis.
    Jika aku bekerja di tempat pertama dan menerima tawaran bekerja di tempat kedua, mungkin aku bisa mendapatkan gaji yang lebih besar. Namun, hatiku tidak tenang. Dan bisa saja gaji yang aku dapatkan malah menjadi sumber bencana untuk keluargaku juga. Berawal dari buang benang, aku berharap juga bisa belajar menjahit di tempat ini. Hal baru yang aku cita-citakan agar nanti bisa membuka konveksi juga saat kembali ke kampung halaman nanti.
    Hidup ini tentang pilihan, kita sendiri yang akan menentukan, pilihan mana yang membuat kita nyaman dan bahagia.

4 comments:

  1. Replies
    1. Trianarepa28.7.22

      Ayo bareng" nulis :D

      Delete
  2. Anonymous19.7.22

    Wuihhh keren nih.... Udah kayak baca novel.. ditunggu kelanjutan ceritanya miss

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentar dan masukkannya :)
EmoticonEmoticon